Rajam, cambuk, potong tangan, penggal kepala adalah diantara hukuman dalam Hukum Pidana Islam (Jinayah) yang dianggap barbar oleh orang yang tidak menyukai hukum Islam. Namun jika kita melihat fakta sekarang ini, apakah kejahatan-kejahatan yang terjadi tidak mencerminkan sikap barbar? Tanyakan pada hati nurani sendiri. Mulai dari aborsi, mutilasi, perampokan dengan pembantaian dan lainnya, apakah kejahatan-kejahatan semisal itu tidak mencerminkan barbarisme? Di sisi Lain hukum penjara hanya menimbulkan berbagai permasalahan baru. Hukum Pidana Islam sering kali diidentikan dengan kekejaman, padahal dibalik itu ada kemaslahatan yang lebih besar bagi umat manusia. Banyak orang memahami hukum Pidana Islam hanya pada sisi hukumannya saja, tetapi tidak melihat proses-proses (Hukum acara pidananya). Dalam Jinayah, Jatuhnya hukuman bagi pelaku kejahatan tidak serta merta, namun juga sebagaimana hukum acara pidana yang melalui serangkaian proses. Salah satu contohnya adalah mengenai hukum rajam yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sebuah hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya kurang lebih:
'Telah datang kepada Rasulullah saw seorang perempuan Ghamidiyah dan ia berkata, "Ya Rasulullah, aku telah berzina, maka sucikanlah aku. " Namun beliau (Rasul saw) menolaknya. Esok harinya ia datang lagi dan berkata: "Wahai Rasulullah, janganlah engkau menolak aku sebagaimana menolak Ma'iz. Demi Allah aku telah hamil. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan. " Ketika perempuan itu telah melahirkan, ia mendatangi Rasulullah saw dengan anaknya yang ada di gendongannya dan berkata, "Ini adalah anaku. ' Maka Rasululah saw bersabda, "Pergilah, dan susuilah sampai engkau menyapihna." Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi Rasulullah saw berserta anaknya yang membawa sepotong makanan. Ia berkaya,"ya Nabiyallah aku telah menypihnya dan ia bisa memakan-makanan." Lalu anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari kaum muslim. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan menanam perempuan itu hingga ke dadanya, lalu memeintahkan manusia untuk merajamnya. Khalid bin Walid adalah salah seorang yang melemparkan batu kepada perempuan itu. Ketika setetes darah mengenai pipinya, Khalid memaki perempuan itu. Rasulullah saw pun berkata, "Bersikaplah ang lemah lembut wahai Khalid. Demi zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, ia telah bertaubat sehingga jika ada seorang yang berbuat salah dan bertaubat seperti dirinya, maka ia akan diampuni."
Itulah sepenggal riwayat mengenai penerapan hukuman Zina yang berupa rajam pada Masa Rasulullah SAW. Dari hadis dapat kita pahami bahwa inisiatif datang dari pelaku sendiri, karena atas dasar kesadaran akan hari Akhirat. Seorang yang mengimani akan hari akherat beserta balasannya, lebih memilih sengsara di dunia dari pada harus mendapatkan Azab pedih di neraka. Namun meskipun atas inisiatif si pelaku, Rasul saw tidak serta merta menjatuhkan hukuman baginya. Si pelaku harus berulangkali mendatangi Rasulullah untuk mendapatkan hukum rajam. Mungkin di zaman serba materialis ini, seorang seperti ini bisa dibilang 'gila', mau menyerahkan dirinya untuk dibunuh secara tersiksa. Tetapi itulah kualitas keimanan muslim pada zaman itu.
Dalam fikih Jinayah sendiri, penetapan hukum zina harus memenuhi syarat-syarat yang salah satunya adalah 4 orang saksi yang adil. Syarat 4 orang ini, dalam penerapannya akan sangat sulit sekali. Apakah ada orang yang berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi?
Sebuah hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya kurang lebih:
'Telah datang kepada Rasulullah saw seorang perempuan Ghamidiyah dan ia berkata, "Ya Rasulullah, aku telah berzina, maka sucikanlah aku. " Namun beliau (Rasul saw) menolaknya. Esok harinya ia datang lagi dan berkata: "Wahai Rasulullah, janganlah engkau menolak aku sebagaimana menolak Ma'iz. Demi Allah aku telah hamil. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan. " Ketika perempuan itu telah melahirkan, ia mendatangi Rasulullah saw dengan anaknya yang ada di gendongannya dan berkata, "Ini adalah anaku. ' Maka Rasululah saw bersabda, "Pergilah, dan susuilah sampai engkau menyapihna." Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi Rasulullah saw berserta anaknya yang membawa sepotong makanan. Ia berkaya,"ya Nabiyallah aku telah menypihnya dan ia bisa memakan-makanan." Lalu anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari kaum muslim. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan menanam perempuan itu hingga ke dadanya, lalu memeintahkan manusia untuk merajamnya. Khalid bin Walid adalah salah seorang yang melemparkan batu kepada perempuan itu. Ketika setetes darah mengenai pipinya, Khalid memaki perempuan itu. Rasulullah saw pun berkata, "Bersikaplah ang lemah lembut wahai Khalid. Demi zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, ia telah bertaubat sehingga jika ada seorang yang berbuat salah dan bertaubat seperti dirinya, maka ia akan diampuni."
Itulah sepenggal riwayat mengenai penerapan hukuman Zina yang berupa rajam pada Masa Rasulullah SAW. Dari hadis dapat kita pahami bahwa inisiatif datang dari pelaku sendiri, karena atas dasar kesadaran akan hari Akhirat. Seorang yang mengimani akan hari akherat beserta balasannya, lebih memilih sengsara di dunia dari pada harus mendapatkan Azab pedih di neraka. Namun meskipun atas inisiatif si pelaku, Rasul saw tidak serta merta menjatuhkan hukuman baginya. Si pelaku harus berulangkali mendatangi Rasulullah untuk mendapatkan hukum rajam. Mungkin di zaman serba materialis ini, seorang seperti ini bisa dibilang 'gila', mau menyerahkan dirinya untuk dibunuh secara tersiksa. Tetapi itulah kualitas keimanan muslim pada zaman itu.
Dalam fikih Jinayah sendiri, penetapan hukum zina harus memenuhi syarat-syarat yang salah satunya adalah 4 orang saksi yang adil. Syarat 4 orang ini, dalam penerapannya akan sangat sulit sekali. Apakah ada orang yang berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi?
Add Comments