Sekaten merupakan kata yang asalnya dari Syahadatain (dua kalimat syahadat: Asyhadu Allaa ilaaha illa Allah wa Asyhadu anna Muhammad Rasulullah). Perayaan sekaten dimulai sejak zaman Kerajaan Demak. Perayaan ini merupakan hasil karya para wali untuk menyiarkan agama Islam di daerah jawa. Sehingga tentu saja, tradisi ini hanya berada di Indonesia, khususnya Jawa. Oleh karena itu, nuansanya lebih Njawani dari pada Islami.
Melalui alunan Gendhing-gendhing Soran yang lembut dari dua perangkat Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo, sangat berkesan di hati setiap pendengarnya. Nuansa seperti inilah yang diinginkan oleh para Wali untuk melakukan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Jawa. Hal ini sangat efektif, karena menggunakan media seni tradisional rakyat, mengembangkan simbolisasi kehidupan religius rakyat, dan didukung oleh pengaruh kewibawaan raja.
Oleh sebab itu adanya sekaten dan Perayaannya sangat melekat di hati rakyat hingga kini. Akan tetapi, visi dan misi adanya Sekaten itu pada perkembangannya sudah tidak diperhatikan lagi oleh penyelenggara perayaan sekaten. Pada kenyataannya saat ini, perhatian pengunjung sekaten tidak lagi ke alunan gending Sekaten dan dakwah Islamiyah, tetapi tertuju pada pasar malam yang berupa stand-stand dagang, permainan, serta hingar-bingar lainnya yang ada di pasar malam Sekaten.
Mungkin sekarang Masyarakat pengunjung pasar malam, banyak yang sudah tidak lagi mengenal Pagingan dan Gamelan, serta bunyi sekaten itu sendiri. Apalagi nilai filosofi atau simbolik yang terkandung. Pada puncaknya, penyelenggaraan Sekaten tidak lagi berorientasi nilai religi dan tradisi, tetapi bisnis berpayung keanggunan Sekaten.
(Dicuplik dan disadur dari "Bentuk Ideal Penyelenggaraan Pasar Malam Sekaten" karya M Hudi Asrori S, Juara Pertama Lomba Penulisan Esai Sekaten, Kerja Sama Pusat Studi Pariwisata UGM dengan SKH Kedaulatan Rakyat.)
Add Comments