Pentingnya Sastra dalam Pendidikan Akhlak

Advertisemen

Kenapa Sastra Penting?

Disadari atau tidak, sekarang ini kebanyakan anak dan remaja khususnya di Indonesia, akan semakin mengalami dekadansi akhlak. Pengaruh salah satu media elektronik yaitu acara televisi, menurut saya menjadi penyebab paling mendominasi dalam hal ini. Sementara di sisi lain pendidikan yang seharusnya membekali anak-anak untuk dapat memilah mana yang benar tidak berjalan seharusnya.

Pendidikan saat ini sebagaimana kata para ilmuwan hanya sekedar 'transfer information' sehingga pendidikan dan khusus lagi pendidikan akhlak tidak membekas sama sekali pada jiwa anak. Akhirnya pun anak mudah sekali meniru apa yang di lihatnya.

Kenapa Televisi sangat berpengaruh terhadap masyarakat? Bagi saya televisi adalah alat praktis dan efisien dalam menghadirkan seni dan sastra. Apapun acara yang ditampilkan dalam Televisi adalah hasil dari seni dan sastra si pembuatnya.

Sementara itu seniman maupun sastrawan yang menampilkan berbagai acara di televisi kebanyakan tidak begitu paham terhadap masalah agama apalagi masalah akhlak. Padahal saya kira, dulunya merekapun telah melewati jenjang pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan akhlak, tetapi mengapa terjadi demikian. Inilah hasil dari pendidikan di Indonesia yang hanya mengedepankan "transfer information" bukan "transfer pengetahuan"( dalam istilah Naquib Al Attas).

Pendidikan akhlak adalah menyangkut citra, rasa dan karsa manusia yang akhirnya melahirkan tingkah laku manusia. Seni dan Sastra makanya menjadi penting dalam pendidikan akhlak. Lewat seni dan sastra anak diajari untuk berakhlak terpuji, sehingga anak lebih menjiwai apa yang diajarkan lewat seni maupun sastra.

Dengan demikian maka pendidikan akhlak tidak sekedar transfer informasi saja. Hal ini dapat dibuktikan lewat TPA (taman pendidikan Anak-anak) maupun TK (taman kanak-kanak) dimana kedua institusi ini telah menerapkan sastra dalam mendidik akhlak anak. Sayangnya dalam pendidikan kita semakin ke atas jenjang pendidikan semakin sedikit sastra yang diajarkan. Apalagi sastra yang terkait langsung dengan akhlak.

Jika kita melihat pendidikan di negara negara maju tampak dalam sastra, pendidikan kita jauh tertinggal. Pada tahun 1997 , Taufiq Ismail mengadakan penelitian mengenai wajib baca buku-buku sastra di SMU dari 13 negara. Pengumuman hasil penelitiannya sangat menyedihkan. Ternyata di Indonesia wajib baca itu jumlahnya 0 judul, sedangkan di Malaysia 6 judul, di Rusia 12 judul, di Amerika Serikat 32 judul, dan di AMS Hindia Belanda 25 Judul(Taufiq Ismail, Setelah Menguap dan Tertidur," dalam pertemuan Ilmiah Nasional (HISKI), UAD, Yogyakarta, 8-10 September 2002).

Dari sedikit penjelasan di atas maka patutlah kiranya bagi para pendidik untuk menggunakan sastra dan seni sebagai salah satu alat pendidikan. Khususnya lagi dalam pendidikan Islam seharusnya pengajaran mengenai puisi,prosa, cerpen, cerita yang bernafaskan Islam hasil karya para muslim masa lampau maupun kini perlu dilakukan. (Fathan/Admin)

Contoh Sebuah Sastra berbentuk Cerita


"Pak Fulan dan Mobil Kijang"

Pak fulan bin al Jawi yang sudah lama pensiun duduk di beranda depan, diatas kursi goyang, tasbih berputar-putar di tangan. Tapi zdikirnya kacau, tersendat-sendat, meskipun jari-jarinya terus memutar tasbih. Hatinya gelisah " Apa yang kurang, ya?, " ia berdiri dan berjalan mondar-mandir, mengingat-ingat. Pajak...sudah, zakat...sudah, iuran kampung...sudah, premi asuransi takaful...sudah, hutang...tidak ada, janji...tidak ada, tidak ada yang kurang. Tiba-tiba ia terkejut, "Lha iya to!" Ia memukul jidatnya dengan pangkal telapak tangan. Ternyata pikirannya masih terang. Satu hal saja: Ia ingat suruhan Tuhan untuk masuk Islam secara total. padahal, mobil kijangnya yang baru belum masuk Islam. Maka sambil bersiul-siul ia mengambil gergaji besi dari gudang dan terus ke garasi.

Bu Fulanah binti al-Maduri keluar dengan secangkir kopi," Apa yang sampean kerjakan itu, pak?" Pak Fulan menoleh dan menjawab, "Anu ini lho, Bune. Ternyata mobil kita belum masuk Islam. Maka saya sedang menyunat, memotong ujung knalpotnya,"
(dari cerita Bakdi Sumanto) (dikutip dari Kuntowijoyo, Epistemologi Dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora Dalam Perspektif Pemikiran Islam, Dalam Buku Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum)
Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini