Kaidah Fikih merupakan kaidah yang bersifat kulli yang dirumuskan dari masalah fur'iyah. Daya berlakunya hanya bersifat aghlabi, yaitu berlaku untuk sebagian furu' saja. Dengan demikian, dalam kaidah tersebut dimungkinkan masih ada beberapa masalah yang dikecualikan atau dengan kata lain, masalah-masalah furu' yang tidak diberi ketentuan hukumnya berdasarkan rumusan kaidah tersebut, maka ketentuan hukumnya adalah ditentukan secara khusus oleh dalil-dalil yang ada dalam sumber hukum Islam.
Tersebut di bawah ini adalah beberapa kaidah fikih beserta cabang-cabangnya dengan versi terjemahan yang diambilkan dari buku "AL QAWA'ID AL FIQHIYAH" Karya Ridho Rokamah. Jika ingin lebih memperdalam masalah ini, bagaimana penjelasan masing-masing kaidah ini, silahkan membacanya dalam buku tersebut yang diterbitkan oleh STAIN Ponorogo.
5 kaidah Dasar Fikih
Kaidah pertama : SETIAP PERKARA TERGANTUNG PADA TUJUANNYA
- Tidak ada pahala kecuali dengan niat (terhadap perbuatan yang diperbuat itu)
- Yang dianggap dalam akad adalah maksud-maksud, bukan lafadh-lafadh dan bentuk-bentuk perkataan.
- Dalam amal yang disyaratkan menyatakan ta'yin, maka kekeliruan pernyataan ta'yin membatalkan amalnya
- Maksud perkataan itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.
- Sumpah itu menurut maksud/niat orang yang menyumpah.
- sesunguhnya perbuatan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan cirinya, baik secara global, maupun secara terperinci maka kekeliruan menyebut ciri itu tidak membahayakan (tidak membatalkan).
- Suatu (amalan) yang harus dijelaskan cirinya secara garis besarnya dan tidak disyaratkan secara terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan rinciannya ternyata salah maka membahayakan.
- Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadh yang umum dan tidak pula menjadikan umumnya pada lafadh yang khusus.
- Seseorang yang tidak dapat melaksanakan Jama'ah karena sesuatu halangan, padahal ia berniat untuk melakukannya andaikan tidak ada halangan, maka ia mendapatkan pahala jama'ah.
Kaidah Kedua: KEYAKINAN ITU TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KERAGU-RAGUAN
- Yang menjadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula.
- Hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab.
- Asal dari segala hukum adalah tidak ada.
- Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya. (Syafi'i)
- Segala sesuatu pada dasarnya adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukan kebolehannya. (Hanafi)
- Hukum pokok dalam lapangan ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.
- Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang telah ditetapkan.
- pada asalnya setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat.
- Barang siapa yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dianggap belum melakukannya.
- Jika seseorang telah yakin berbuat (sesutau), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit.
- Hukum asal dalam memahami kalimat adalah makna hakikat.
- Hukum asal tentang s eks (hubungan lawanjenis) adalah haram.
Kaidah Ketiga: KESUKARAN ITU DAPAT MENARIK KEPADA KEMUDAHAN
- Apabila suatu perkara itu sempit, maka hukumnya menjad luas.
- Jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya sempit.
- Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya.
Kaidah Keempat: MADLARAT ITU DAPAT DIHAPUS
- Kemadlaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
- Madlarat itu tidak dapat dihilangkan dengan madlarat
- Kemadlaratan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemadlaratan yang lebih ringan.
- Kemadlaratan tidak boleh dihilangkan dengan menghilangkan kemadlaratan yang sebanding.
- Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.
Kaidah Kelima: ADAT KEBIASAAN ITU DITETAPKAN MENJADI HUKUM
- Sesuatu yang dismapiakan oleh syara' (hukum) secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa maka semua itu dikembalikan kepada 'urf.
- Sesutau yang telah terkenal menurut 'urf, seperti sesuatu yang disyaratkan dengan suatu syarat, apa yang sudah ditetapkan dengan 'urf itu seperti ketetapan dengan Nash.
Add Comments