Bagaimana Nusantara Menjadi Negeri Muslim?

Advertisemen
Apakah kita pernah memikirkan kenapa sebagian besar kita warga negara Indonesia adalah seorang muslim? Penulis sendiri merasa bahwa sejak dalam kandungan pun telah menjadi muslim, bagaimana tidak, penulis lahir dari seorang ibu dan bapak yang beragama Islam, dan berada di dalam sebuah keluarga besar muslim, bahkan berada di dalam masyarakat muslim. 

Coba kita pikirkan bagaimana bisa Nusantara ini menjadi bangsa muslim, padahal kita bisa tengok sejarah nusantara ini dan letak geografisnya.

Menengok sejarah Nusantara, awalnya diduduki oleh manusia kuno yang percaya animisme dan dinamisme, lalu masuklah ajaran Hindu dan Budha yang tumbuh menjadi kerajaan-kerajaan besar yang sisa-sisa peninggalannya masih bisa disaksikan hingga sekarang. Dan akhirnya, masuklah ajaran Islam yang menyebar melalui jalur perdagangan dan juga melalui kerajaan-kerajaan.

Kita tengok pula, letak geografis nusantara yang berada di timur jauh pusat peradaban Islam. Tapi kenapa pada akhirnya nusantara dan sekitarnya kini menjadi negeri muslim? Padahal ada negeri-negeri yang lebih dekat, seperti mongol, Cina, Bangladesh, myanmar thailand, India Sekarang, tidak menjadi negeri muslim. Kenapa malahan Malaysia, Indonesia dan Brunie Darussalam yang menjadi negeri muslim?

Meskipun nusantara pernah dijadikan jajahan kolonial yang notabene salah satu tujuannya adalah gospel atau penyebaran ajaran Kristen selama 3,5 abad, namun populasi muslim di nusantara tetap menjadi mayoritas.

Mengapa semua ini bisa terjadi? memang benar kalau mau berpikir mudah, ini semua sudah kehendak Allah. Tapi Allah juga telah berfirman bahwa Allah tidak akan merubah kondisi suatu kaum sampai mereka merubahnya sendiri. Kita perlu memikirkan bagaimana para saudagar asing menyebarkan ajaran Islam, bagaimana juga para ulama yang terkenal dengan sebutan wali songo, yang begitu besar jasanya dalam berdakwah di lapisan masyarakat bawah begitu halus tanpa kekerasan dan pertumpahan darah, mereka memilih cara berdakwah secara kultural. Bagaimana juga dakwah Islam terus berlanjut di masa kolonial? Baca juga: Benarkah Wali Sanga ada?

Jika kita membuka lembaran sejarah kerajaan besar Islam, akan didapati kerajaan Islam tertua dimulai dari samudra Pasai, Goa, Ternate, Tidore, Demak, Mataram, dimana masing-masing memiliki wilayah kekuasaan masing-masing dan saling terpisah antara satu dengan lainnya. Lalu datanglah bangsa Eropa yang akhirnya 'merebut' kekuasaan tiap-tiap kerajaan dan secara tidak langsung menyatukan kekuasaan nusantara dibawah pemerintahan kolonial.

Di sisi lain, sisa-sisa keturunan kerajaan-kerajaan Islam tidak rela dengan penjajahan kolonial, hingga terjadilah gejolak untuk mengusir penjajah, munculah tokoh tokoh pemimpin pembebasan seperti Cut Nyak Dien, Imam Bonjol dan Diponegoro.

Berbagai gejolak perlawanan dari muslim terus menerus muncul, hingga pemerintah kolonial harus berpikir keras membuat kebijakan yang dapat meredam gejolak-gejolak perlawanan tersebut dan ini membuktikan bahwa komunitas muslim begitu eksis meski di bawah penjajahan. Hal ini disebabkan keilmuan Islam tetap mengalir melalui Haji dan pesantren-pesantren. Hingga munculah peraturan untuk mengakomodir orang-orang Islam, disisi lain muncul juga politik adu domba.  Muncul Pula politik balas jasa kepada pribumi, dibukalah sekolah-sekolah untuk pribumi.  Lalu munculah tokoh-tokoh pembebasan generasi baru hasil didikan Eropa.

Lalu terjadilah Perang Dunia yang sebagian besar melibatkan bangsa Eropa. Di satu sisi ini merupakan sebuah keberuntungan bagi pribumi, karena jalan menuju kemerdekaan dari kolonial semakin terbuka. Namun naas kekalahan Eropa mengharuskan nusantara berada di bawah kekuasaan Jepang.

Menurut sejarahnya, dibawah kekuasaan jepang lebih sengsara daripada di bawah kekuasaan Kolonial Belanda. Begitu dasyatnya doa orang-orang yang teraniaya. Hiroshima dan Nagasaki di Bom Atom oleh Amerika. Sehingga membuka kesempatan bagi pribumi untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang diwakili oleh Soekarno-Hatta.

Kemudian para tokoh berkumpul untuk membentuk dasar-dasar negara, yang terangkum dalam 5 sila. Dari kalangan muslim yang mayoritas, mengajukan dasar negara berlandaskan Hukum Islam pada sila pertama, namun hal ini ditentang oleh tokoh non-muslim, hingga akhirnya terjadi kesepakatan agar terjadi persatuan dirubahnya sila yang pertama menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Bagi tokoh yang bersikukuh dengan pembentukan negara Islam, akhirnya membentuk kelompok gerakan pemberontakan seperti DI-TI yang dipimpin Kartosuwiryo. 
Setelah masa awal kemerdekaan berlalu, masa kolonial dan perang dunia telah berakhir berganti menjadi perang dingin, dunia memasuki fase baru, era globalisasi dan kebebasan. Berbagai macam produk Asing (dunia Barat) masuk dalam negeri. Negara meminjam dana IMF yang sangat ribawi untuk menyokong pembangunan fisik. Perusahaan asing semakin banyak tumbuh di Indonesia.

Budaya pop mulai menjadi trend kalangan remaja. Sistem pendidikan Nasional juga mengacu pada sistem pendidikan barat. Namun sepertinya produk-produk impor itu tidak cocok untuk perkembangan negeri ini yang berpenduduk mayoritas muslim, hingga akhirnya menimbulkan berbagai macam dilema. Dilema dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.

Entah apa jadinya, Jika tidak ada tokoh tokoh besar muslim seperti haji Samanhudi dengan Sarekat Islam, Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah dan Hasyim Asy'ari dengan NU, dan tokoh lainnya yang menjadi pendiri Ormas-ormas besar di Indonesia. Mungkin muslim di Indonesia telah hilang tergerus arus badai dunia barat.

Hingga saat ini, badai dari dunia barat itu masih terus menghantam nusantara ini dan juga negeri muslim lainnya. Dengan munculnya era informasi, perpecahan umat Islam sangat kentara. Tiap tempat yang didiami muslim memiliki sejarahnya masing-masing, sehingga muncul kelompok-kelompok politik Islam yang memiliki pemikiran yang berbeda-beda dengan semangat global.

Perbedaan-perbedaan ini menjadi celah bagi musuh terbesar orang beriman sepanjang zaman yaitu Syetan, untuk semakin menghancurkan Agama Islam. Pasukan Iblis disebar di seluruh dunia, mulai menghasut orang-orang Islam sendiri.  Chauvinisme menjadi senjata ampuh syetan untuk mengadu domba umat Islam. Sehingga bukannya memikirkan bagaimana agar umat Islam bersatu, malah saling mencari keburukan dan kesalahan antara kelompok satu dengan lainya. Seperti kentara terlihat di Nusantara ini, bagaimana pertikaian antara Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir, Salafi, Wahabi dan kelompok syiah.

Bayangkan bagaimana Iblis dan pasukan syetan bersuka cita dan berpesta pora melihat umat saling bertikai.

Nusantara sebagai negeri muslim, namun terlihat seperti bukan negeri muslim. Pergaulan bebas, Narkoba, perang antar kelompok, Korupsi merajalela, pembunuhan dimana-mana dan segudang masalah lainnya. wallahu A'lam.
Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini