Panduan Puasa Saat Bepergian (Safar)

Advertisemen
Salah satu keringanan yang diberikan kepada mukmin saat bulan ramadhan adalah bolehnya berbuka (ifthor) saat sedang bepergian (safar). Hal ini berlaku pula bagi puasa wajib lainnya seperti puasa nadzar dan kafarat. Meskipun demikian, diwajibkan untuk mengganti (menqadha') di waktu yang lain. Hal ini berdasarkan Surat AlBaqarah ayat 185.

Pada masalah ini, pembahasan yang sering mengemuka dalam fikih adalah persoalan jarak perjalanan yang ditempuh oleh musafir. Menurut Imam Abu Hanifah, perjalanannya itu harus memakan waktu selama tiga hari tiga malam atau dengan jarak tempuh sebanyak dua puluh empat (24) farsakh. Berbeda lagi dengan Imam Ahmad dan Syafi'i yang berpendapat bahwa bolehnya berbuka dalam perjalanan yang memakan waktu selama dua hari dua malam atau enam belas (16) farsakh. Farsakh adalah ukuran jarak yang dikenal di Timur Tengah yang berasal dari Persia Kuno yaitu "Parasang", yaitu suatu jarak tempuh kuda dalam satu jam, sekitar 3 mil. Pada pertengahan abad 19, farsakh Persia adalah +-6,23 Km, untuk Arab lebih pendek yaitu +- 5,76 km.

Berbuka bagi musafir merupakan rukshoh (keringanan) agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan (al-Masyaqqah). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah. Dengan mempertimbangkan adanya masyaqqah, puasa dalam perjalanan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Puasa lebih utama dari pada berbuka


Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suat keberatan. demikian pendapat Jumhur ulama sesuai dengan sura Albaqarah ayat 184. Menurut Umar bin abd Aziz, puasa lebih baik bagi orang yang mudah mengerjakannya serta yang kesulitan apabula menqada'nya. Puasa lebih utama bagi yang sudah rutin dan biasa bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat. Dalam soal ini selain fisik yang menjadi pertimbangan, kondisi ruhiyah ternyata lebih menentukan. Contohnya para sahabat Rasulullah saw tetap menjalani puasa walaupun dalam keadaan perang.

2. Berbuka lebih baik


Lebih bagus berbuka karena Allah menyukai rukhsohnya yang dikerjakan, demikian pendapat dari Imam Ahmad. Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar ra. dan Imam Bukhori yang meriwayatkan hadist dari Shabat Anas ra, Rasulullah saw bersabda kepada mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang berpuasa, "Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala."
As Syaukani berpendapat bahwa orang yang kepayahan dan mengalami mudarat jika berpuasa lebih bagus baginya berbuka. Begitu juga orang yang takut ujub dan riya' apabila dia berpuasa meski sebagai musafir. Argumentasinya diperkuat oleh hadist, "Ya Rasulullah, saya kuat menjalankan puasa dalam perjalanan, bolehkah saya lakukan? jawab beliau; "Ini merupakan rukshoh dari Allahh Ta'ala, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin puasa tidak apa-apa."

"Tidak merupakan kebaikan puasa dalam safar". Demikian Imam Bukhori menyimpulkan. Berbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk menghadapi musuh dalam jihad. Bahkan, berbuka menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad.

Dalam kajian Fikih, ulama menyimpulkan persyaratan untuk mengambil rukhsoh berbuka dalam safar yaitu:
a. Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safat untuk tujuan maksiat.
b. Perjalanan yang realtif jauh menurut zamannya.
c. Tidak memulai perjalanan dalam keadaan puasa agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai. Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir), kecuali jika terjadi kesulitan/keberatan.

Demikianlah beberapa ketentuan puasa saat bepergian. Tulisan ini disyarikan dari Buliten "Hidayah" November 2004 hal. 126-dst. Semoga bermanfaat.
Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini