Sejarah Islam Dunia: Awal Perpecahan Umat - Fitnatul Kubra

Advertisemen
Melihat kondisi Umat Islam sekarang tidak bisa lepas dari rentetan sejarah masa lalu. Sekarang kita hidup dimana umat ini terbagi-bagi ke berbagai macam aliran dengan dua arus utama yaitu sunni (ahlussunnahwal jamaah) sebagai mayoritas dan syiah sebagai minoritas dan mungkin juga Khawarij.

Lalu bagaimana perpecahan di dalam tubuh Islam ini dimulai. Menilik sejarah Islam kita akan mendapati sebuah titik sejarah yang sangat mencekam dalam sejarah Umat Islam.

Sejarah Islam tentang Fitnah Kubra


Khalifah ketiga: Utsman Bin Affan

Khalifah kedua, Umar bin khatab, adalah seorang amirul mukminin yang brilian yang mampu memperluas kekuasaan kekhalifahan dengan cepat bahkan mengalahkan kekuasaan dunia terbesar saat itu yaitu Persia. Seorang fanatik Persia yang dijadikan budak oleh seorang muslim, akhirnya menikan umar dari belakang saat Umar mengimami shalat. Umar sekarat dan meminta para sahabat untuk membuat sebuah tim yang bertugas memilih calon khalifah penggantinya. Singkatnya, Utsman Bin Affan yang akhirnya menggantikan Umar.

Utsman tak perlu diragukan lagi keshalehannya. Di sisi lain dia adalah seorang yang brilian di dalam masalah perekonomian. Pada masa Utsman ini tidak lagi mengejar perluasan wilayah, dia lebih berkonsentrasi untuk membangun di dalam. Ustman menjalankan reformasi ekonomi di dunia Islam. Utsman percaya pada kebebasan ekonomi. Bahkan ia membiarkan kaum muslim terkemuka untuk meminjam perbendahaaraan masyarakat. Tak lama kemudian, elite muslim, termasuk sebagiann besar sahabat mulai mengumpulkan kekayaan dan memperoleh tanah yang luas di seluruh wilayah Islam.

"Reformasi ekonomi" itu cenderung memperkaya klan Utsman sendiri, yaitu Bani Umayah.  Utsman juga menunjuk kerabatnya untuk banyak posisi politik yang kuat di seluruh wilayah kekuasaan Islam karena mereka adalah orang-orang yang dia kenal baik dan paling dipercaya. Ini membuat klan Umayah mendapat kekuasaan yang tidak proposional, baik dalam ekonomi maupun politik.

Meski Utsman menerapkan gaya hidup zuhud pada dirinya, namun dia tidak menuntut hal tersebut bagi para pejabat pemerintahannya.

Timbulnya Huru Hara

Menjelang akhir 12 tahun pemerintahan Utsman, mulai terdengar suara ketidakpuasan di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Seperti di Mesir, saudara angkatnya memeras uang rakyat dengan begitu keras sehingga pecah kerusuhan. Hal serupa juga terjadi di utara, nampaknya Utsman telah mengecewakan banyak orang.

Para kelompok dari Mesir yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Utsman berkumpul di kota Madinah untuk menyampaikan keluhannya. Awalnya Utsman meminta Ali untuk menghadapi mereka, namun Ali menolak dan menyarankan Utsman untuk menghadapi keluhan sah masyarakat itu. Utsman akhirnya menemui mereka dan dia berjanji untuk mengganti saudara angkatnya yang menjadi gubernur Mesir dan menyuruh mereka pulang ke Mesir.

Ustman dibunuh oleh Massa

Saat perjalanan pulang mereka bertemu dengan seorang budak Utsman. Mereka curiga, menggeledahnya dan menemukan sebuah surat yang isinya mengatakan kepada Gubernur Mesir untuk menangkap delegasi orang yang tidak puas itu. Kelompok delegasi dari Mesir itu kembali ke Madinah dengan Geram. 

Mereka menemui Utsman dan memperlihatkan surat itu kepada Utsman dan Ustman terkejut, bersumpah dia tidak pernah menulis surat itu. Ternyata sepupunya Marwan yang memalsukan surat itu, kerabat dan sekutu gubernur Damaskus.

Singkatnya, pemohon damai itu berubah menjadai massa yang marah, menuntut agar khalifah menyerahkan saudara Muawiyah itu kepada mereka, namun ditolak. (Muawiyah sendiri diangkat oleh Utsman menjadi Gubernur Damaskus, di Damaskus dia menyusun tentara yang setia kepada dirinya sendiri).

Lalu mereka menuntut agar Utsman mundur dan membiarkan orang yang lebih baik untuk menggantikannya, Utsman juga menolak karena baginya berhenti dari jabatannya atas perintah dari suatu massa merupakan penghinaan terhadap Allah. Dia kemudian menarik diri ke kamar pribadinya, melakukan kebiasaanya saat sedang bingung dan ragu yaitu membaca Al-Qur'an.

Namun amarah massa tak terbendung, mereka memaksa masuk dan menemukan Utsman yang sedang membaca Al-Quran dibilik kamar itu dan mereka memukul Ustman sampai mati. Massa pun bergejolak di Madinah selama 4 hari. Setelah keributan mulai menyurut, para pemimpin massa tetap menolak meninggalkan Madinah sebelum ada khalifah baru yang diangkat. Akhirnya semua pikiran berpaling pada satu kandidat, Ali, menantu Muhammad saw.

Ali bin Abi Thalib diangkat Menjadi Khalifah

Awalnya Ali menolaknya, namun para pemuka muslim beramai-ramai ke Masjid dan memohon agar Ali segera mengambil Alih kepemimpin umat ini. Akhirnya Ali menjadi Khalifah keempat.

Keadaan massa masih kacau, hal ini nampaknya dimanfaatkan Muawiyah. Muawiyah menuntut Ali untuk menangkap para pembunuh Utsman. Tapi bagaimana bisa menangkap dan menghukum sebuah massa, selain itu mereka itu sendiri awalnya adalah korban ketidakadilan dan penindasan dan mereka datang ke Madinah dengan keluhan yang sah. 

Ali memutuskan untuk fokus pada masalah lain, dia akan menyerang korupsi di tubuh pemerintahannya. Ali memecat seluruh gubernur yang telah diangkat oleh Ustman, namun tak ada yang mau turun dari jabatan kecuali gurbernur Yaman yang malah membawa lari perbendaharaan negara.

Perang Jamal: Ali vs Aisyah

Masalah lain muncul, Aisyah ra (Istri Rasulullah) berada di Mekah saat terjadi huru-hara itu. Ketika Muawiyah memulai huru hara politiknya, Aisyah berpihak kepada Muawiyah. Singkat cerita Aisyah mengumpulkan tentara, mengadakan rapat perang dan memimpin pasukannya ke utara dan menyerbu Basrah. Ali pun menyerukan jihad untuk melawan tentara Aisyah. Umat bingung, karena Aisyah juga menyerukan Jihad. Terjadilah perang Jamal (Unta), disebut demikian karena Istri Rasulullah saw itu mengendarai unta langsung ke medan perang dan mengerahkan pasukannya dari belakang. Ini pertama kalinya perang muslim melawan muslim terjadi.

Diakhiri dengan ditebasnya unta itu dan Aisyah ditangkap. Sungguh perisitiwa yang memilukan bagi dunia Islam, Seorang menantu dan istri Rasulullah saw berperang, yang menyebabkan sepuluh ribuan muslim tewas dan banyak diantaranya adalah sahabat Rasul. Akhirnya terjadi perdamaian, setelah keduanya membicarakan bersama bagaimana orang dan peristiwa telah mengkhianati keduanya.

Perang Shiffin

Sementara itu di sisi lain, Muawiyah terus "mengasah pedangnya". Dia menolak kekhalifahan Ali dan menyatakan bahwa kekhalifahan adalah miliknya. Tahun 36 H/ 657M, Ali berhadapan dengan Muawiyah dalam perang Shiffin. 

Perang shiffin meledak, menurut beberapa sumber, telah menyebabkan 65 ribuan tewas di medan perang ini. Saat pasukan Ali hampir menang, Muawiyah merancang siasat. Para prajurit disuruh menancapkan Al-Quran di ujung tombaknya dan berbaris di belakangnya para penghafal Al-Qur'an yang melantunkan ayat Al-Qur'an dan Ali didesak untuk bernegosisasi.

Negosiasi berlangsung dengan mengirimkan wakil-wakilnya dari masing-masing kubu. Mereka bersepakat bahwa kedua orang itu setara, masing-masing harus bertanggung jawab atas wilayah mereka sendiri, Muawiyah memegang Suriah dan Mesir dan Ali memerintah selebihnya.

Kesepakatan ini membuat marah pengikut Ali atau Syiah Ali.  Bagaimana mungkin Ali bisa bernegosisasi dengan Muawiyah, yang bagi pengikut Ali, dia merupakan perwujudan tertinggi Materilaisme anti-Islam? Pengikut Ali yang paling fanatik, tidak terima dengan keputusan ini dan malah memisahkan diri dari Ali. Mereka ini kemudian dikenal sebagai Khawarij, orang-orang yang memisahkan diri.  Kelompok Khawarij ini kemudian merumuskan ulang cita-cita pengikut Ali menjadi doktrin baru yang revolusioner.

Bagi khawarij, Ali telah menyia-nyiakan haknya dan perlu mundur dari jabatannya. Oleh sebab Ali tidak mundur, seorang Khawarij muda mendatangi Ali dan membunuhnya. 

Dengan Terbunuhnya Ali, maka Muawiyahlah kini yang merasa dirinya menjadi Khalifah satu-satunya umat Islam. Meski di sisi lain syiah Ali (pengikut Ali) tidak menganggap demikian. Syiah menunjuk putra Ali pertama, Hassan sebagai pengganti Ali. Tetapi Hassan lebih memilih untuk melangkang ke pinggir. Maka dimulailah Dinasti Muawiyah.

Inilah sejarah Fitanul Kubra..

Pasca peristiwa besar yang menggoncang umat Islam ini setidaknya memunculkan dua golongan sempalan yaitu Syiah dan Khawarij. Dengan bergulirnya waktu dan zaman, Syiah memiliki doktrin tersendiri yang berbeda dengan mayoritas umat Islam, terutama berkaitan dengan masalah kepemimpinan umat Islam (Imamah).

Doktrin mayoritas umat, mengatakan bahwa Muhammad saw adalah seorang Rasul Allah yang menyampaikan cara menjalani hidup yang benar. Jika ingin hidupnya dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan Akherat maka teladanilah cara hidup Rasulullah saw. Orang-orang muslim yang menerima doktrin ini akhirnya disebut dengan Sunni (Ahlusunnah Wal Jama'ah).

Tetapi bagi Syiah, merasa bahwa mereka tidak bisa membuat diri mereka layak masuk surga hanya dengan usaha mereka sendiri. Mereka percaya bimbingan langsung dari Allah masih berlangsung di dunia melalui beberapa orang terpilih. Mereka memakai istilah 'Imam' untuk orang yang mereka percayai sebagai orang terpilih ini. 

Bergulirnya zaman dan peristiwa, Doktrin syiah tidak berhenti di situ, Terjadi perselisihan dikalangan mereka sendiri tentang masalah keimamahan ini.

Sementara itu kaum khawarij jumlahnya lebih sedikit namun sangat radikal. Mereka menuntut seorang pemimpin yang memiliki kriteria sangat tinggi. Hanya orang yang paling tekun, paling sholeh yang berhak menjadi pemimpin. Tetapi Khawarij gagal tumbuh karena mereka bersikap ekstrem dan puritan saat banyak orang memperoleh keuntungan dalam kemakmuran yang baru saat itu.

Sumber Pustaka:
Munir A, Samsul, Sejarah Perabadan Islam, Jakarta: AMZAH, 2010.
Ansary, Tamim, Dari puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: zaman, 2012
Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini