Asal-Usul Bedug Dalam Kebudayaan Islam

Advertisemen
Di Indonesia bedug telah menjadi budaya yang dianggap berasal dari Islam. Seperti halnya sarung yang menjadi salah satu identitas bagi kaum muslim. Namun pernahkah kita berpikir sebenarnya dari manakah asa-muasal bedug itu? Untuk sedikit mengorek masalah ini berikut ini adalah sepenggal tulisan yang diambil dari Majalah Gontor edisi 11 Tahun 2008. 

Mungkin hanya di Indonesia bedug mampu memasuki relung kehidupan umat Islam. Walau entah dari mana datang dan masuknya budaya itu ke tengah kehidupan Umat Islam Indonesia, namun bedug telah menjadi salah satu simbol budaya sendiri.

Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggirnya menyatakan bahwa bedug berasal dari Cina. Informasi ini ia dapat dari seorang guru besar etnomusikologi Amerika, Charles Capwell. Menurut Capwell, di zaman Hindu dan Budha instrumen itu tidak pernah disebut. Kemungkinan baru muncul selepas Cheng Ho dan pasukannya ketika menjadi utusan Maharaja Ming ke Jawa. Dialah yang memperkenalkan bedug saat memberi tanda berbaris kepada para tentaranya.

Terlepas dari validitas sumber ini, pada intinya bedug adalah budaya lokal yang telah membumi menjadi budaya Islam Indonesia. Di situlah terlihat terjadinya akulturasi timbal balik antara Islam dan Budaya Lokal. Dalam tradisi Islam, akulturasi adalah sesuatu yang sah, tergambar dalam kaidah Ushuliyah :"al-'aadah muhakkamah" (Kebiasaaan dapat menjadi patokan hukum). Dan kaidah lainnya: "al-Tsabit bil 'urfi kats-tasbit bidaliilisyar'i" (Perkara yang ditetapkan oleh Urf(tradisi) sama seperti yang ditetapkan oleh syar'i).
Walau pada masa lalu bedug perlu ditoleransi untuk menjadi bagian dari Islam, namun pada konteks kekinian, kegunaan dan penggunaan bedug bukan hanya untuk memberitahu masuknya waktu shalat, tetapi juga telah merambah pada hal-hal negatif.

Di Banten dapat ditemui seni tari bedug yang biasanya dilakukan di depan Masjid Agung Banten yang ditabuh oleh gadis-gadis. Kini juga marak konser bedug yang disponsori oleh pabrik rokok. Bahkan dalam kesempatan lain, bedug dijadikan sebagai ajang unjuk kegaduhan dan keramaian.

Lihatlah saat bulan Ramadhan atau menjelang dan setelah Hari Raya. Atas nama syiar Islam, bedug ditabuh bertalu-talu, sekalipun sangat menggangu tetangga sekitar. Di sinilah perlunya telaah kembali agar bedug dapat diletakan secara proporsional sebagai sebuah budaya lokal yang arif.

(Gontor | Shafar 1429/Maret 2008 | hal. 69)
Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini