A. Pengertian Jihad
Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik. Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia. Kemudian dalam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan sesuatu yang sifanya fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam
Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam garis-keras”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat.
Term “jihad” dilansir dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali. Kata tersebut secara lughawi “jahada-yujahidu-jihad wa mujahadah”. Karena itu, jika kita membincangkan “jihad” paling tidak ada dua terma lain yang memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun mujahad berasal dari satu akar kata (musytaqqat) yang memiliki makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan.
Jihad itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) dan kesulitan (masyaqah) (Kamus al Muhath). Jihad dalam aspek bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk memperoleh tujuan tertentu (Al Jihad Walqital Fissiyasah Asy Syar’iyah).
Sementara pengertian jihad dalam konteks syar’i adalah mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui bantuan materi, sumbangsih pendapat, penyediaan logistik dan lain-lain (Raddul Mukhtar III). Dalam pengertian syar’i, jihad juga bermakna mengerahkan segenap kesungguhan dalam memerangi orang kafir (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari).Walhasil, secara bahasa, jihad mencakup makna yang cukup luas, meliputi jihad melawan hawa nafsu, jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad politik, jihad pemikiran, jihad mencari ilmu dan lain-lain.
Sebaliknya, jihad menurut makna syariat, sebagaimana dibahas dalam literatur fiqh, selalu berkaitan dengan pembahasan tentang perang, penaklukan, ekspedisi militer di wilayah-wilayah Darul Harb (negara yang memusuhi Islam). Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang jihad (perang). Namun demikian, dalam konteks jihad sesuai pengertian syar’i, ada dua jenis penjelasan, yaitu yang eksplisit (gamblang) dan implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Haj:39).
atau seperti ayat berikut: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” )QS. Al Anfal;39).
Sedangkan yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain:
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73)
Ada pula nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69).
Juga ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).
Para ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pembelokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang dengan sebutan qital, bukan jihad. Sungguh, beberapa pendapat di atas yang dewasa ini seringkali menghiasi media masa, jelas-jelas merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai pijakan yang jelas dalam kitab-kitabnya para ulama salaf yang telah terbukti kredibitasnya.
B.Bentuk-Bentuk JIhad
Untuk memperluas wacana kita dalam diskursus “jihad”, dapat kita rujuk kepada salah satu kitab yang selaku dikaji di pesantren-pesantren, yakni kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. Muallif kitab tersebut dengan bahasa sederhana mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya ”al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.
Bentuk jihad pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari serta bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang kristani, majusi, yahudi serta pemelum-pemeluk agama lainnya yang bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut ditambahkan mushannif I’anah, dengan mencukupi sandang, pangan dan papan. Kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, Perumnas, pabrik tekstil dan sejenisnya jelas menjadi tanggungan pemerintah dan wajib dikelola secara adil dan benar untuk memenuhi kepentingan 200 juta lebih anak bangsa, jika tidak maka pemerintahan tersebut tergolong fajir dan lalim.
C. Rumusan Jihad
Hal yang menarik dan perlu dicermati adalah rumusan makna jihad sebagai upaya mengayomi dan melindungi orang-orang yang berhak mendapatkan perlindungan, baik muslim atau non-muslim. Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini akan mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut -- sebagaimana yang dirumuskan para ulama klasik:
1. al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dengan mengupayakan masyarakat sekeliling agar mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dengan harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
2. al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dengan memperjuangkan agar masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3. al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dengan mengusahakan agar masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dengan harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4. Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dengan mengupayakan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan agar diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tidak mampu, dan lainnya.
5. Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dengan mengusahakan agar orang-orang yang jatuh sakit tidak terbebani oleh ongkos berobat yang tidak terjangkau. Masyarakat yang terserang penyakit harus mendapatkan layanan yang cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dengan layanan yang baik dan murah, pengobatan gratis bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah) ini adalah orientasi perjuangan Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Lima dasar ini jika benar-benar realisasinya akan melahirkan muslim militan dan fundamentalis, yaitu orang Islam yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam
Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam garis-keras”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat.
Term “jihad” dilansir dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali. Kata tersebut secara lughawi “jahada-yujahidu-jihad wa mujahadah”. Karena itu, jika kita membincangkan “jihad” paling tidak ada dua terma lain yang memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun mujahad berasal dari satu akar kata (musytaqqat) yang memiliki makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan.
Jihad itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) dan kesulitan (masyaqah) (Kamus al Muhath). Jihad dalam aspek bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk memperoleh tujuan tertentu (Al Jihad Walqital Fissiyasah Asy Syar’iyah).
Sementara pengertian jihad dalam konteks syar’i adalah mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui bantuan materi, sumbangsih pendapat, penyediaan logistik dan lain-lain (Raddul Mukhtar III). Dalam pengertian syar’i, jihad juga bermakna mengerahkan segenap kesungguhan dalam memerangi orang kafir (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari).Walhasil, secara bahasa, jihad mencakup makna yang cukup luas, meliputi jihad melawan hawa nafsu, jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad politik, jihad pemikiran, jihad mencari ilmu dan lain-lain.
Sebaliknya, jihad menurut makna syariat, sebagaimana dibahas dalam literatur fiqh, selalu berkaitan dengan pembahasan tentang perang, penaklukan, ekspedisi militer di wilayah-wilayah Darul Harb (negara yang memusuhi Islam). Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang jihad (perang). Namun demikian, dalam konteks jihad sesuai pengertian syar’i, ada dua jenis penjelasan, yaitu yang eksplisit (gamblang) dan implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Haj:39).
atau seperti ayat berikut: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” )QS. Al Anfal;39).
Sedangkan yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain:
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73)
Ada pula nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69).
Juga ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).
Para ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pembelokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang dengan sebutan qital, bukan jihad. Sungguh, beberapa pendapat di atas yang dewasa ini seringkali menghiasi media masa, jelas-jelas merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai pijakan yang jelas dalam kitab-kitabnya para ulama salaf yang telah terbukti kredibitasnya.
B.Bentuk-Bentuk JIhad
Untuk memperluas wacana kita dalam diskursus “jihad”, dapat kita rujuk kepada salah satu kitab yang selaku dikaji di pesantren-pesantren, yakni kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. Muallif kitab tersebut dengan bahasa sederhana mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya ”al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.
Bentuk jihad pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari serta bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang kristani, majusi, yahudi serta pemelum-pemeluk agama lainnya yang bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut ditambahkan mushannif I’anah, dengan mencukupi sandang, pangan dan papan. Kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, Perumnas, pabrik tekstil dan sejenisnya jelas menjadi tanggungan pemerintah dan wajib dikelola secara adil dan benar untuk memenuhi kepentingan 200 juta lebih anak bangsa, jika tidak maka pemerintahan tersebut tergolong fajir dan lalim.
C. Rumusan Jihad
Hal yang menarik dan perlu dicermati adalah rumusan makna jihad sebagai upaya mengayomi dan melindungi orang-orang yang berhak mendapatkan perlindungan, baik muslim atau non-muslim. Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini akan mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut -- sebagaimana yang dirumuskan para ulama klasik:
1. al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dengan mengupayakan masyarakat sekeliling agar mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dengan harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
2. al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dengan memperjuangkan agar masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3. al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dengan mengusahakan agar masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dengan harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4. Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dengan mengupayakan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan agar diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tidak mampu, dan lainnya.
5. Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dengan mengusahakan agar orang-orang yang jatuh sakit tidak terbebani oleh ongkos berobat yang tidak terjangkau. Masyarakat yang terserang penyakit harus mendapatkan layanan yang cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dengan layanan yang baik dan murah, pengobatan gratis bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah) ini adalah orientasi perjuangan Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Lima dasar ini jika benar-benar realisasinya akan melahirkan muslim militan dan fundamentalis, yaitu orang Islam yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam
Add Comments