Makalah Ilmu Kalam: Pengertian, Perbandingan Aliran, Perkembangan

Advertisemen


BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahka pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam. Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim.
Dalam makalah ini kami berusaha membahas tentang pengertian ilmu kalam, dan bagaimana perbandingan antara beberapa aliran dalam ilmu kalam, serta perkembangan ilmu kalam pada era kotemporer ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu kalam didefinisikan sebgai ilmu yang membicarakan tentang wujud-nya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya , sifat-sifat yang tidak ada pada Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada pada Nya dn membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapakan kerasulannya dan mengetahuhui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat –sifat tidak mungkin ada padanya dan sifat yang munkin terdapat padanya [1]
Ada yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang menbicarakan bagaimana menetapakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan ( agama Islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ibnu Kaldun mengatakan Ilmu kalam adalah ilmu yang menbicarakan bagaiman menetapkan kepercayaaan-kepercayaan iman dengan mengunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyelewengkan dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan Salaf dan ahli Sunnah


B. Perbandingan antara aliran-aliran

1. Wahyu dan akal

Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. berbeda dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak akan tahu. Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Golongan Maturidiyah Bukhara sependapat dengan kaum Asy’ariyah[2]

2. Pelaku dosa besar

a.  Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:

Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khawarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.

b.  Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosabesar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan subsekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampunidosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.

c.  Menurut aliran Mu'tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah baialmanzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.

d.  Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil Ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.

e.  Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal didalamnya.

f. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin atho’[3]

3. Sifat-sifat Tuhan

a. Menurut aliran Mu'tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu'tazilah dan kaum Asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu'tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.

b.  Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.[4]

c.  Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. walaupunbegitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari.
Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaannya almaturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

d.  Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, namun adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.[5]

4. Iman dan kufur

a.  Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.[6]
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.

b. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.[7]
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya.[8]

c. Aliran Mu'tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.[9]

d. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.

e. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang penting tasdid dan ikrar.

5 Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia

a. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau buruk. Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan perbuatannya.

b. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut.[10]

c. Aliran Mu'tazilah
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim Rasulrasul- Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.[11]

d. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusiadengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al- Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan.

e. Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran Maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.

6. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan

a. Aliran Mu'tazilah
Mu'tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya Mu'tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)

b. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Landasan surat al-Buruj ayat 16

c. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiba hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan Asy’ariyah.[12]

C. Perkembangan Ilmu Kalam Kotemporer

Pola pikir dan logika yang digunakan dalam ilmu kalam tradiosional (‘aqidah, doktrin, dogma) adalah pola pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks). Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja daripola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive. Pola pikir inductive mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran[13]
Dalam pola pikir inductive tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam dunia konkret ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu kalam. Tapi menurut Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan manuasia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang actual.[14] Persoalan-persoalan yang dihadapi pada masa sekarang ini lebih diwarnai oleh isu-isu yang menuntut masalah kemanusiaan secara universal. Isu seperti demokrasi, pluralitas agama dan budaya, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kemiskinan struktural menjadi tantangan sekaligus menjadi agenda persoalan yang dihadapi oleh generasi kini. Isu-isu tersebut jelas berbeda dengan isu-isu abad tengah dan zaman klasik yang biasa diangkat dalam kajian kalam dan falsafah Islam klasik.[15] Ketika dihadapkan kepada isu-isu tersebut pengembangan dan pembaharuan pemikiran ilmu kalam memang merupakan keniscayan. Tahapan awal dalam upaya mengembalikan “keseimbangan” antara bobot pemikiran ilmu kalam klasik yang bermuatan moralitas normatif dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahan kontemporer yang bersifat empiris mutlak diperlukan kritik epistemologis yang mendasar.[16] Selanjutnya upaya rekonstruksi harus menuju sebuah format teologi yang bisa berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan sa’at ini.
Untuk itu objek kajian ilmu kalam klasik yang bersifat transendent-spekulatif, seperti pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, yang relevansinya kurang jelas dengan kehidupan masa kini harus diganti dengan kajian yang lebih aktual, seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan sejarah, korelasi antara keyakinan agama dengan pemeliharaan keadilan dan masih banyak lagi aspek lain. Bahkan Hassan Hanafi, seorang filosuf Muslim kontemporer secara radikal melontarkan tentang perlunya diupayakan pergeseran wilayah pemikiran yang dahulu hanya memusatkan perhatian kepada persoalan-persoalan ketuhanan (teologi) ke arah paradigma pemikiran yang lebih menelaah dan mengkaji secara serius persoalan kemanusiaan (antropologi).[17] Ada delapan langkah yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi menuju perubahan ini. 1. from God to Land; 2. from Eternity to Time; 3. from Predistination to Free will 4; from Authoryti to Reason 5; from Theory to Action; 6. from Charisma to Mass-participation; 7. from Soul to Body; dan 8 from Eschatology to Futurology [18]Begitu pula sumber kebenaran ilmu kalam kontemporer, tidak hanya terpusat pada wahyu dan dataran konsep yang dipikirkan tapi secara metodologis harus menerima masukan dari produk barbagai disiplin keilmuan kontemporer.[30] Nancy Murphy, seorang ahli teologi mengatakan bahwa teori koherensi sebagai kriteria kebenaran dalam kajian teologi (Teologi Islam, pen.) klasik, pada ilmu kalam kontemporer bukan lagi satu-satunya pilihan epistemologis Para penganut modernis mengasumsikan bahwa individu merupakan seorang yang cakap sama halnya dengan yang lain untuk membentuk berbagai kepercayan dan mengucapkan bahasa (pembimbing bagi lainnya). Pengetahuan dan bahasa masyarakat hanyalah semata-mata koleksi dari individu-individu. Akan tetapi dalam priode posmodernism, komunitas memainkan sebuah aturan yang sangat penting. Komunitas ilmuanlah yang memutuskan kapan berbagai fakta dipandang telah menyimpang secara serius. Komunitas harus menetapkan dalam hal apa perubahan dilaksanakan dan bagaimana ia dilakukan. Aturan-aturan permainan bahasa dimana seorang terlibat secara pribadi di dalamnya dan menentukan apa yang semestinya dikatakan atau tidak dikatakan adalah sesuatu yang semestinya mendapat perhatian. Pendek kata, bahasa dan apa yang diketahui merupakan praktek-praktek yang tidak pernah lepas dari tradisi, keduanya adalah prestasi komunitas[19].

BAB III
KESIMPULAN
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan sdengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,
Pustaka Setia Bandung: 2006.
Abdullah, Amin. 1995. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed). Filsafat Islam, Yogyakarta: LSFI, ——————-Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.——————- 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI. Yogyakarta: IAIN Suka.
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta: 1986
Hanafi, Hassan, t.t. Dirasat Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah.
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.




[1] Ahmad Hanafi MA, Theologi Islam( ilmu kalam ), Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm3
[2] Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.. hal.
154-155
[3] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung: 2006. hal. 133-139
[4] Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta: 1986 hal. 135-136
[5] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M.Ag. Op. Cit. Hlm. 177-179
[6] Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996: hal. 98
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta, UI press. Halm. 147
[8] DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung: 2006. hal. 144-145
[9] Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993. hal. 157
[10] Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.Cit. hal. 159-160
[11] Harun Nasution. Op.Cit. hal 128
[12] Drs. Abd. Rozak. M.Ag. Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam Op. Cit. hal. 182-187
[13] M. Amin Abdullah: “Kajian Ilmu Kalam Di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamis Studies, No 65, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hal. 84-85.
[14] M. Amin Abdullah, Al-Jami’ah, Op. Cit. hal. 86.
[15] Amin Abdullah. Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 89.
[16] Ibid., hal. 49.
[17] Hassan Hanafi. Dirasat Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt.), hal. 205.
[18] Hassan Hanafi: “From Dogma o Revolution”, yang isinya merupakan resume karyanya, Minal ‘aqidah ila al-Tsauroh, Muhawalah li I’adat Bina i al-‘Ilm Ushul al-Diin, 5 Jilid..
[19] http: //edywitanto.wordpress.com/ilmu-kalam, diakses pada tanggal 8 Mei 2011, pada pukul 11.24 WIB
Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini