Benarkah Bilangan Prima Merupakan Bahasa Universal Alam Semesta?
Bilangan prima dalam matematika diyakini merupakan salah satu misteri alam semesta, karena hingga era komputer sekarang ini pun, ia banyak dimanfaatkan sebagai sistem kodetifikasi (pengkodean, penyandian) berbagai hal yang penting dan rahasia.
Di alam semesta, ia "diduga" menjadi bahasa universal yang dapat dipahami oleh semua makhluk berkecerdasan tinggi dan dipakai sebagai komunikasi dasar antar mereka. Bahkan sejak dahulu, sebagian ilmuwan meyakini adanya hubungan erat bilangan prima dengan desain kosmos.
Berdasarkan kajian mutakhir atas al-Qur'an, ditemukan bahwa Sang Pencipta al-Qur'an dan Alam Semesta menjaga dan memelihara Kitab Mulia ini, antara lain, dengan sistem kodetifikasi berbasis bilangan prima. Dengan memanfaatkan temuan sains modern dan kajian mutakhir para ilmuwan Muslim terhadap al-Qur'an, buku ini mengajak pembaca menangkap isyarat-isyarat alQur'an yang tersembunyi dalam kodetifikasi bilangan prima.
"Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". (az-Zumar 39: 9).
Kitab Mulia al-Qur'an mengajarkan pembacanya bahwa "Tuhan menciptakan sesuatu dengan hitungan teliti' (al-Jinn 72: 28). Bahkan jumlah manusia yang akan datang menghadap Tuhan Yang Maha Pemurah, selaku seorang hamba pada hari yang telah dijanjikan (telah) ditetapkan dengan hitungan yang teliti (Maryam 9 : 93-94).
Dalam pandangan al-Qur'an, tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Semua terjadi dengan "hitungan", baik dengan hukum-hukum alam yang telah dikenal manusia maupun yang belum. Bagi Muslim yang beriman, tidak ada bedanya apakah al-Qur'an diciptakan dengan "hitungan" atau tidak, mereka tetap percaya bahwa kitab yang mulia ini berasal dari Tuhan Yang Esa. Pencipta (banyak) alam semesta, yang mendidik dan memelihara manusia.
Namun bagi sebagian ilmuwan, terutama yang Muslim, yang percaya bahwa adanya kodetifikasi alam semesta, baik kitab suci, manusia maupun objek di langit, adalah suatu "kepuasan tersendiri" jika dapat menemukan hubungan-hubungan tersebut. Al-Qur'an adalah salah satu mahakarya yang diturunkan dari langit, untuk pedoman umat manusia, berlaku hingga alam semesta runtuh. Ia menggambarkan masa lalu, sekarang dan masa depan dengan cara yang menakjubkan.
Prof. Palmer seorang ahli kelautan di Ainerika Serikat mengatakan "Ilmuwan sebenarnya hanya menegaskan apa yang telah tertulis didalam al-Qur'an beberapa tahun yang lalu" .2 Walaupun begitu, tidak semua orang dapat memperoleh hikmah. Bagaimana pembaca bisa memahami keindahan alQur'an tanpa mengetahui ilmunya? Contoh yang paling sederhana adalah ayat 68-69 Surat Lebah atau an-Nahl, yang menceritakan aktivitas lebah "mendirikan sarang dan mencari makan".
Ayat tersebut menggunakan bentuk kata kerja femina, karena memang yang mencari makan dan membuat sarang adalah lebah betina. Lebah jantan diberi makan oleh lebah betina, bukan sebaliknya. 3 Jangankan masyarakat di abad ke-7, masyarakat di abad ke-21 pun tidak tahu bagaimana cara membedakan lebah jantan dan lebah betina7 Terlebih, memahami bahwa lebah betinalah yang mencari makan, bukan sebaliknya.
Jika Surat an-Nahl merefleksikan lebah betina dengan bentuk kata kerja femina. Lebah jantan digambarkan oleh al-Qur'an pada nomor suratnya, yaitu bilangan 16. Bilangan 16 ini adalah banyaknya kromosom lebah jantan, sedangkan jumlah kromosom lebah betina diketahui berjumlah 32. Teknik-teknik seperti inilah yang disebut ilmuwan dengan coding isyarat-isyarat di alam semesta, atau-meminjam istilah Malik Ben Nabi 4 "tanda-tanda" atau ayat bagaikan "anak panah yang berkilauan".
"Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat menerima pelajaran". (ar-Ra'd 73: 19)
Add Comments