Di sisi lain, hukum pidana yang diterapkan oleh negara-negara modern maupun berkembang saat ini tampak gagal di negara berkembang. Di negera Indonesia sendiri, kita bisa melihat begitu banyaknya tindak pidana yang terjadi, sampai-sampai penjara penuh, sementara tindak pidana tidak terlihat sedikitpun mengalami penurunan. Tampak sekali bahwa sanksi pidana dalam hukum pidana positif (penjara) tidak atau kurang sekali memiliki efek jera. Sehingga banyak mantan napi yang tidak jera mengulangi perbuatan pidana lagi.
Sebuah cerita menarik dari desa, diceritakan bahwa ada seorang yang lebih senang masuk penjara. Karena di dalam penjara menurut dia lebih enak karena dapat jatah makan gratis sedangkan di luar dia harus bersusah payah mencari seuap nasi. Sehingga dia sering kali melakukan pencurian kecil-kecilan, seperti mencuri ayam tetangga. Begitulah sebuah cerita yang pernah terdengar.
Dari hal itu, maka bukanlah hal yang jelek jika para pakar hukum di Indonesia ini untuk meluangkan sedikit waktu saja untuk melirik memahami berbagai aspek yang terdapat dalam hukum Pidana Islam.
Beikut ini ada sebuah tulisan yang merupakan ringkasan dari sebuah buku Fikih Jinayah yang ditulis oleh seorang Dosen Fikih Jinayah di UIN jogja. Tulisan ini dicopy dari http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
FIQH JINAYAH
(Makhrus Munajat, M.Hum)
BAB I (Pengertian, Unsur, dan Pembagian)
Jinayah adalah adalah suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.
Seseorang dikenai hukum jinayah jika memenuhi dua unsur; yaitu umum dan khusus. Unsur umum terdiri dari; 1. Formil, yaitu adanya ketentuan undang-undang. 2, Materiil, yaitu sifat yang melawan hukum. 3. Moril, yaitu pelakunya mukallaf. Sedangkan unsur khusus ialah unsur yang hanya terdapat pada perdana tertentu dan antara satu jenis berbeda dengan lainnya, seperti pencurian jika ada barangnya.
Ulama membagi tindak pidana ( Jarimah) dalam lima katagori. 1. Katagori berat- ringannya hukuman, terdiri dari tiga jenis; Jarimah Hudud, Jariman Qishash, dan Jarimah Ta`zir. 2. Menurut niat pelaku. 3. Berdasarkan sikap berbuat. 4. Siapa yang menjadi korban. 5. Berkaitan dengan kepentingan umum.
BAB II (Asas-asas Umum)
Asas legalitas ialah keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Dalam Islam, secara substansial ialah ayat-ayat Al-Qur`an, diantaranya; Al-Isra 15, Al-Qasas 59, Al-An`am 19, dan Al-Baqarah 286. Dari ayat-ayat tersebut, fuqaha merumuskan beberapa kaidah hukum Islam. Dari kaidah-kaidah tersebut memunculkan dua syarat yang harus dipenuhi sehingga dikatagorikan tindak pidana. Pertama, pelaku tidak gila dan bukan karena membela diri. Kedua, perbuatan tersebut diketahui jelas ada ancaman bagi yang melanggar.
Maka “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nas”. Namun ada beberapa jarimah yang diberlakukan asas surut karena akan sangat berbahaya dan mengganggu kepentingan umum jika tidak diterapkan hukuman.
Berkaitan dengan asas Praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena adanya syubhat (keraguan), karena dalam hadis Nabi menyatakan, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum. Akan tetapi dalam membatalkan hukuman, Hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhi hukuman bagi terdakwa.
BAB III (Percobaan Melakukan Jarimah)
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya factor eksternal, namun pelaku telah berencana dan memulai perbuatannya. Maka perbuatan tersebut dianggap maksiat dan bisa dihukumi ta`zir oleh Hakim dan jelas berbeda hukumannya dengan perbuatan yang selesai. Jika tidak selesainya perbuatan karena perubahan niat dalam dirinya, maka tidak dianggap maksiat. Tapi jika tidak selesai karena ketahuan oleh pihak lain, maka ia bisa dikenakan hukum maksiat dengan ta`zir hakim. Fase perencanaan dan persiapan tidak bisa dikatakan jarimah, dalam Islam hanya jika terjadi perbuatan telah selesai. Meskipun dalam hukum positif, perencanaan tersebut dianggap kejahatan bila dapat dibuktikan.
Dalam perkara percobaan melakukan jarimah mustahil, Islam tidak menjadikan soal apakah kemustahilan tersebut karena kesalahan alat atau karena salah tujuan. Selama niatan pelaku telah menjelma pada perbuatan yang berbentuk maksiat, maka harus dihukumi atas pertimbangan Hakim.
BAB IV (Turut Serta Berbuat Jarimah)
Pengertian turut serta dan berserikat sangat berbeda. Istilah turut serta, tidak nyata dalam kejadian, bisa jadi hanya menyuruh, otak perencanaan atau lainnya. sedangkan berserikat keduanya merupakan pelaku utama.
Turut serta jarimah tidak langsung dapat berbentuk; persepakatan, menghasud atau menyuruh, dan memberi bantuan. Juga akan timbul beberapa kemungkian; 1. pelaku tidak langsung lebih berat daripada yang langsung, seperti kesaksian palsu. 2. Pelaku langsung lebih kuat daripada yang tidak langsung, seperti menjatuhkan orang ke jurang. 3. Kedua perbuatan pelaku seimbang, seperti memaksa membunuh.
Dalam Islam hukuman hanya dijatuhkan pada pelaku langsung, bukan terhadap pelaku turut serta yang tidak langsung untuk menghindari syubhat . Akan tetapi dalam jarimah tertentu, seperti pembunuhan dan penganiayaan, pelaku tidak langsung dikenai hukum ta`zir , sedangkan pelaku langsung dikenai hukum hudud atau qishash atau diyat.
BAB V (Pertanggung-jawaban Pidana)
Pertanggungjawaban Pidana dapat diartikan sebagai bentuk pembebanan pada seseorang akibat perbuatannya yang dilarang atau tidak berbuat yang seharusnya dikerjakan, dengan kemauan sendiri dan tahu akan akibat dari berbuat atau tidak berbuat. Melawan hukum atau melakukan perbuatan yang dilarang dapat disebabkan karena sengaja, dan adakalanya keliru.
Seorang Hakim jika memutuskan potong-tangan tidak bisa diqishash karena ia dalam posisi melakukan ketentuan syariat. Seseorang yang dipaksa melakukan kejahatan oleh Penguasa tidak bisa dihukum. Seseorang yang dipaksa berzina juga masuk pengecualian hukum. Seseorang yang membunuh untuk pembelaan diri termasuk pengecualian hukum. Adanya syubhat dalam kasus tertentu juga menjadi penghalang berlakunya hukum. Pemberian maaf juga dapat menggugurkan hukuman, kecuali pada hal tertentu seperti pembunuhan secara keji dan direncanakan tidak bisa dimaafkan.
BAB VI (Hukuman)
Hukuman atau `uqubah dalam istilah Arab merupakan bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Hukuman diberlakukan dengan syarat, 1.hukuman itu disyariatkan, 2.dikenakan hanya pada pelaku, dan 3.berlaku bagi seluruh orang.
Hukuman dari segi pertaliannya dibagi empat macam; pokok ( jarimah hudud), hukuman pengganti ( qishash diganti diyat), hukuman tambahan (pelaku qazf, hilang hak warisnya), dan hukuman pelengkap melalui keputusan hakim, seperti mengalungkan potongan tangan ke leher.
Dari segi kewenangan hakim, ada hukuman yang bersifat terbatas, seperti dera 100 bagi pezina. Dan lainnya bersifat alternative untuk dipilih.
Sedangkan dari segi objek, dibagi menjadi; 1.hukuman jasmani; potong tangan, 2. psikologis; ancaman, dan 3. hukuman benda; diyat, ganti rugi dan penyitaan harta.
Hukuman gabungan ialah serangkaian sanksi yang diterapkan pada seseorang bila ia nyata melakukan jarimah berulang-ulang dan antara perbuatan satu dan lainnya belum mendapatkan putusan terakhir. Hukuman gabungan dibagi menjadi dua sifat, gabungan anggapan dan gabungan nyata.
Pelaksanaan hukuman diklasifikasikan dalam tiga ketentuan; jarimah hudud yang berwenang hanyalah Imam atau diwakilkan kepada Hakim yang diangkat secara resmi. Jarimah Qishash Diyat dapat dilakukan oleh korban atau walinya, tapi harus dibawah pengawasan Penguasa agar tidak berlebihan, namun dianjurkan untuk diserahkan pelaksaannya kepada Penguasa. Adapun pelaksanaan jarimah ta`zir, mutlak wewenang kepala Negara atau Hakim. Jika dilaksanakan orang lain, akan dikenai sanksi.
Tujuan hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif (pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
BAB VII (Jarimah Hudud)
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling berat dalam hukum pidana Islam. Hukum Pidana Islam tidaklah absolute, ortodok, melainkan memberikan ruang gerak bagi akal fikiran manusia untuk berijtihad sehingga bisa merespon kebutuhan masyarakat secara dinamis.
Pada hakikatnya, ada kebebasan untuk menetapkan hukum, akan tetapi hukum Allah swt. tetap dijadikan rambu dalam menegakkan keadilan, maka pemahaman jarimah hudud harus disikapi sebagai sebuah ijtihad Ulama terdahulu.
Rajam, melempari pezina dengan batu sampai ajal, adalah alternatif hukuman terberat dan bersifat insidentil. Penerapannya lebih bersifat kasuistik, karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan individu dan masyarakat.
Qazf adalah menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti yang meyakinkan. Jika tidak terbukti maka penuduh dikenai dera 80 kali. Dalam Islam, kehormatan, pencemaran nama baik adalah hak yang harus dilindungi, bukan sekedar karena kebohongan.
Sariqah ialah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam Al-Quran, Jarimah Sariqah adalah potong tangan. Dalam ijtihad, potong-tangan diberlakukan untuk pencuri professional. Dalam teori halah al-had al-a`la, hukum potong tangan dalam kejadian tertentu dapat digantikan dengan hukuman lain yang lebih rendah, tetapi tidak boleh diganti dengan yang lebih tinggi.
Hirabah adalah sekelomok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, dan kekacauan. Hukuman bagi haribah adalah hukuman bertingkat. Potong tangan karena mencuri, potong kaki karena mengacau, qishash karena membunuh, disalib karena membunuh dan mengacau, dan dipenjara bila mengacau tanpa membunuh dan mengambil harta.
Baghy adalah pemberontakan, yaitu keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib.
Khamar (minuman memabukkan), diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin, dan lainnya. Islam sangat memperhatikan kesehatan badan, jiwa dan kemanfaatan harta benda. Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera sebagai hukum ta`zir sebagaimana yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab.
Riddah, orang yang menyatakan kafir setelah beriman dalam Islam, baik dilakukan dengan; 1. perbuatan menyembah berhala, 2. dengan ucapan bahwa Allah mempunyai anak, atau 3. dengan keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk. Dalam Hadis, hukumnya dibunuh. Namun dalam pemahaman kontektual bahwa murtad, hanya dihukumi ta`zir, karena sanksinya bersifat Akhirat, murtad hanya dihukum jika mencaci maki agama, akan tetapi bisa dikenai hukuman mati dengan ta`zir jika terbukti melakukan desersi sedang Negara dalam keadaan perang.
BAB VIII (Jarimah Qishash Diyat)
Qishash diyat adalah kejahatan terhadap jiwa atau anggota badan yang diancam hukuman serupa ( qishash) atau diyat ( ganti rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Termasuk di dalamnya, pembunuhan dengan sengaja, semi sengaja, menyebabkan kematian karena kealpaan, penganiayaan dengan sengaja, atau menyebabkan kelukaan tanpa sengaja.
Hikmah berlakunya hukum ini adalah untuk keberlangsungan hidup. Dengan qishash menghindari kemarahan pihak korban dan melenyapkan rasa dendam. Dengan diyat, akan meringankan beban nafkah pihak korban dan akan merasakan keadaan damai dan aman dalam kehidupan.
Pembunuhan disengaja diberlakukan hukum pokok ( qishash), jika dimaafkan, diberlakukan hukum pengganti ( diyat), dan bila keduanya dimaafkan, maka diberlakukan hukuman ta`zir. Hakim bisa menetukan hukuman yang lebih rendah atas persetujuan korban atau walinya secara kondisional, menurut jenis pembunuhannya, siapa pelakunya, dan kenapa terjadi. Apapun substansinya, hukum qishash adalah upaya menegakkan keadilan, sehingga dapat diterima oleh semua golongan.
BAB IX (Jarimah Ta`zir)
Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Namun hukum ta`zir juga dapat dikenakan atas kehendak masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya mubah. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil. Jadi, jarimah ta`zir berbeda dengan jarimah hudud.
Jarimah Ta`zir bisa dibagi menjadi tiga macam. Jarimah yang berasal dari hudud namun terdapat syubhat. Jarimah yang dilarang nas, namun belum ada hukumnya. Dan jarimah yang jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh syara`.
Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim, secara garis besar dapat dibedakan menjadi; Hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
Add Comments