Definisi Ushul Fiqh

Advertisemen

A. Definisi Ushul Fiqh Sebagai Susunan Idlafiyah

Untuk menjelaskan ini, lafadz ushul al fiqh harus dipisah, yakni menjadi ushul dan al fiqh.
Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl. Secara etimologi berarti: asal-muasal dari sesuatu, baik secara inderawi maupun rasio. Ulama ushul biasa menggunakan kata ‘ashl’ untuk beberapa makna di bawah ini:

1. Dalil

Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal masalah ini adalah ijma’’ adalah berarti “dalil masalah ini adalah ijma’”. Jadi, ushul fiqh dengan makna ini berarti: dalil-dalil fiqh, sebab fiqh dibangun berdasarkan dalil-dalil rasional.

2. Rujukan

Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal dari ucapan itu adalah hakikatnya” adalah berarti “rujukan ucapan itu adalah kembali pada hakikat, bukan majas”. Pernyataan “asal qiyas adalah al Quran” adalah berarti “rujukan qiyas adalah al Quran”.

3. Kaidah

Pernyataan “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari asal” adalah berarti “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari kaidah umum”. Pernyataan “hukum asal dari fa’il adalah rofa’” adalah berarti (kaidah umum yang berlaku adalah fa’il dibaca rofa’) atau (fa’il harus dibaca rofa’ merupakan kaidah ilmu Nahwu).

4. Hukum Asal

Pernyataan “hukum asal adalah bebas dari tanggungan” berarti “yang dijadikan hukum asal adalah bebasnya seseorang dari sebuah tanggungan, selama tidak ada hal yang menetapkan tanggungan itu padanya.”

Secara etimologi, fiqh berarti: “mengerti atau paham”. Yang dimaksud mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘fiqh’ dalam al Qur’an, di antaranya surat Hud: 91, “Mereka (penduduk Madyan) berkata: hai Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan.” Dan surat An Nisa’: 78, “Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.”

Menurut terminologi ulama, fiqh adalah: diskursus tentang hukum-hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Atau fiqh adalah hukum itu sendiri.

Penjelasan:
Ahkam yang merupakan bentuk plural dari hukm mempunyai arti “menetapkan sesuatu”, baik dalam bentuk kalimat negatif maupun positif. Contoh: “matahari terbit” atau “matahari tidak terbit” dan “air itu panas” atau “air itu tidak panas”.

Akan tetapi yang dimaksud dengan ahkam dalam ilmu ushul fiqh adalah: ketetapan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni wujub (wajib), nadb (sunnah), hurumah (haram), karahah (makruh), ibahah (mubah), shihhah (sah), fasad (rusak) atau buthlan (batal).

Tidak harus mencakup semua hukum syariah untuk bisa disebut fiqh, tetapi cukup sebagiannya saja. Orang yang mengetahui fiqh disebut dengan faqih, selama dia memiliki kemampuan untuk melakukan istinbath.

Syariah: hukum-hukum itu harus bernuansa syariah, yakni diambil dari dalil syariah (al Qur’an dan hadits) baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian, hukum yang tidak bernuansa syariah tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqh seperti (1) hukum akal. Misalnya: keseluruhan itu lebih banyak dari sebagian, satu adalah separuh dari dua, alam adalah baru. (2) hukum inderawi, yakni hukum rasa. Misalnya: api panas. (3) trial (eksperimen). Misalnya: racun yang dapat membunuh. (4) hukum asas/dasar. Misalnya : kaana dan yang berlaku seperti kaana berfungsi me-rafa’-kan mubtada’ dan me-nashab-kan khabar.

Amaliyah: yakni berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yakni shalat, jual-beli, tindak pidana dan hal-hal lain terkait ibadah dan mu’amalah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan perbuatan tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqh seperti (1) akidah atau kepercayaan. Misalnya: iman kepada Allah dan hari kiamat. (2) akhlak atau etika. Misalnya: keharusan jujur dan larangan dusta. Hal-hal di atas tidak dibahas dalam ilmu ushul fiqh, tetapi dibahas dalam ilmu tauhid/kalam dan ilmu akhlak/tashawuf.

Penetapan (muktasabah): yakni ditetapkan berdasarkan dalil spesifik dengan jalan penelitian (an-nadhr) dan pengambilan dalil (istidlal).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka ilmu Allah terhadap hukum, ilmu Rasulullah dan para penganutnya tidak dapat disebut dengan fiqh dan orangnya tidak dapat dipanggil ‘faqih’. Alasannya, ilmu Allah terhadap hukum dan dalil adalah sifat yang melekat pada dzat-Nya, ilmu Rasulullah didapat dari wahyu, bukan hasil penetapan, dan ilmu para penganut (mukallid) Rasul didapat dari taklid (ikut), bukan hasil penelitian atau ijtihad.

Dalil spesifik (tafsil): suatu dalil partikular (juz’i) yang membahas masalah khusus dan telah memiliki nash tersendiri. Contoh:

a) Firman Allah: “…diharamkan bagimu ibu-ibumu…” (An-Nisa’: 23). Ayat ini adalah dalil spesifik atau dalil partikular yang membahas masalah khusus, yakni menikahi ibu. Dan telah menunjukkan hukum yang spesifik pula, yakni haram menikahi ibu.

b) Firman Allah: “…janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan…” (Al-Isra’: 32). Ayat ini adalah dalil particular (juz’i) dengan mengangkat masalah khusus, yakni zina. Hukumnya juga khusus, yakni haramnya zina.

c) Firman Allah: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka semua kekuatan yang kamu mampu dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang…” (Al-Anfal: 60). Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan. Hukumnya juga khusus, yakni wajibnya menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan untuk menumpas musuh.

d) Sabda Nabi SAW: “Membunuh dengan sengaja harus diqishash”. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni membunuh dengan sengaja. Hukumnya juga khusus, yakni qishash.

e) Ijma’ (konsensus) ulama tentang bagian 1/6 yang diperoleh nenek dari harta waris. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni bagian waris nenek. Hukumnya khusus yakni wajib memberi nenek bagian 1/6 dari harta waris.

Contoh-contoh di atas itulah yang dimaksud dengan dalil spesifik (tafsili), dalil yang menunjukkan hukum suatu masalah. Dalil spesifik inilah yang menjadi objek pembahasan ulama fiqh sebagai sarana untuk mencari tahu hukum yang akan timbul darinya dengan menggunakan kaidah-kaidah pencetusan hukum dan metode pengambilan dalil yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh. Ulama ushul fiqh (ushuliyyun) tidak membahas dalil spesifik ini, tetapi membahas dalil umum (ijmal) atau dalil universal untuk menemukan hukum-hukum universal pula yang pada akhirnya untuk meletakkan suatu kaidah yang dapat digunakan oleh ulama fiqh untuk menerapkan dalil-dalil spesifik/partikular yang bertujuan untuk mengetahui hukum syariah.

B. Definisi Ushul Fiqh Secara Terminologis

Sebagai sebutan dari sebuah ilmu, ushul fiqh adalah: sebuah ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk mencetuskan hukum fiqh sesuai cakupan kaidah dan dalil itu.

Kaidah adalah: diskursus umum yang mencakup hukum partikular (juz’i), dengan kaidah inilah hukum juz’I dapat diketahui .

Kaidah “Al-Amru yufid al-wujub illa idza sharafathu qarinatuh ‘an dzalik” (Amar (perintah) menunjukkan wajib, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari wajib). Kaidah ini mencakup semua nash partikular. Seperti firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu…” (Al Maidah: 1) dan “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah pada Rasul…” (An Nur: 59) semua kata yang menunjukkan amar (perintah) masuk dalam kategori kaidah di atas. Dengan kata amar itulah hukum wajib dalam ayat-ayat itu dapat diketahui. Seperti wajibnya menepati janji, wajibnya shalat, menunaikan zakat dan taat pada Rasul.

Contoh kaidah: “Nahi (larangan) menunjukkan haram, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari haram”. Kaidah ini mencakup semua nash yang nenujukkan kata nahi (larangan), dengan kata nahi itulah hukum haram dalam nash-nash itu dapat diketahui. Seperti firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu mendekati zina…” (Al Isra’: 32) dan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara batil. (An-Nisa’: 29), dengan kaidah itu, maka diketahui bahwa hukum melakukan zina adalah haram, begitu pula makan harta dengan cara batil.

Dengan contoh kaidah di atas, seorang mujtahid dapat mencetuskan hukum fiqh, yakni mencetuskan hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Jika misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukumnya shalat, maka ia membaca firman Allah, “Aqiimu ash-shalah” (dirikanlah shalat). Karena kata (Aqiimu) adalah bentuk amar (perintah), maka kaidah “amar menunjukkan wajib, kecuali ada indikasi lain” diterapkan, dari penerapan itu kemudian diketahui bahwa hukum melaksanakan shalat adalah wajib.

Yang dimaksud dengan dalil ijmal (umum) adalah sumber-sumber hukum syariah, seperti Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi). Mengetahui dalil ijmal berarti mengetahui argumentasi dan kedudukannya dalam proses pengambilan dalil, mengetahui apa yang ditunjukkan oleh nash, makna dan syarat ijma’, macam-macam Qiyas dan ‘illat-nya (indikasi), metode menemukan ‘illat dan sebagainya.

Ulama ushul membahas dalil ijmal yang menunjukkan (memiliki dalalah) hukum syariah.

Ulama fiqh membahas dalil juz’i untuk mencetuskan hukum juz’i dengan bantuan kaidah ushul dan mengaitkannya dengan dalil ijmal.


Advertisemen

Related Posts

Baca Tulisan Lainnya ini